Halo, saya Mirza Adi Prabowo.
Saya seorang Psikolog Klinis dan juga seorang pemotret, dua dunia yang sangat berbeda tapi justru saling melengkapi dalam hidup saya.
Nama saya bukan sekadar identitas, tapi juga doa yang disematkan orang tua. “Mirza” dalam bahasa Turki berarti anak laki-laki yang baik. “Adi” adalah nama sahabat Nabi—Adi bin Hatim—yang dikenal setia dan berani. Sementara “Prabowo” dalam bahasa Jawa berarti pribadi yang bijak. Nama ini menjadi pengingat harian untuk tetap menjadi pribadi yang baik, kuat, dan bermanfaat.
Sebagai Psikolog Klinis, saya banyak mendampingi mereka yang sedang berjuang—dengan luka batin, tekanan hidup, relasi yang rumit, atau perasaan terjebak. Saya percaya bahwa setiap orang berhak dipahami, tidak dihakimi, dan didampingi secara manusiawi. Psikologi bagi saya bukan hanya soal teori, tapi cara untuk memahami, merangkul, dan memulihkan.
Di sisi lain, saya juga seorang pekerja seni, seorang pemotret. Dunia fotografi saya tekuni lebih dari 20 tahun lalu. Memotret bagi saya bukan sekadar menangkap momen, tapi menangkap rasa apa yang tak bisa diucapkan, bisa saya sampaikan lewat visual. Dua dunia ini psikologi dan fotografi adalah dua cara saya membaca dan mengartikan hidup.
Hidup, tentu saja, bukan tanpa kehilangan.
Dalam perjalanan meraih gelar psikolog, saya harus kehilangan tiga orang terdekat (meninggal dunia), ayah saya, anak perempuan saya, dan istri saya semuanya di masa yang hampir bersamaan. Kehilangan yang besar, dalam, dan mengguncang. Tapi justru dari sanalah saya belajar bahwa hidup tidak harus selalu sempurna, tapi bisa tetap bermakna. Kita tidak selalu bisa memilih apa yang datang dalam hidup, tapi kita bisa memilih bagaimana menghadapinya.
Fotografi adalah warisan semangat dari almarhum Ayah. Beliau pernah berkata:
“Hidup kadang tidak seperti yang kita harapkan. Maka milikilah keterampilan lain untuk menjaga kehidupanmu tetap berjalan, bahkan jika pekerjaanmu tak sejalan dengan gelar akademismu.”
Itulah sebabnya saya tetap memotret, karena fotografi bukan sekadar hobi, tapi napas kedua, ia menemani saya melewati masa-masa sepi, duka, hingga titik balik kehidupan.
Kini, saya memilih untuk tetap berjalan menjadi Psikolog yang terus belajar memahami manusia, dan menjadi pemotret yang terus menangkap cerita kehidupan dari balik lensa. Dua dunia yang saya jalani, dengan hati yang sama untuk hidup lebih sadar, lebih jujur, dan lebih manusiawi.
Semoga, masih ada waktu dan kesempatan.
Untuk terus menemani, memahami, dan menyembuhkan baik lewat kata, maupun cahaya.